Menui berasal dari
bahasa bugis ‘manu’ yang artinya ayam. Dulunya, saat pertama kali
ditemukan oleh orang bugis, di pulau ini banyak terdapat ayam, sehingga
dinamakanlah pulau Manu atau Manui. Menurut cerita penduduk setempat,
yang pertama kali menemukan pulau ini sebenarnya adalah orang Bugis.
Sebagai tanda bahwa mereka telah menemukan pulau ini, orang-orang bugis
itu kemudian menancapkan besi payung di daerah tanjung. Akan tetapi,
kemudian datang orang Bungku yang juga merasa telah menemukan pulau ini
dan menancapkan besi berkarat di bawah besi payung yang telah
ditancapkan sebelumnya oleh orang Bugis. Karena besi yang ditancapkan
oleh orang Bungku lebih berkarat, maka kemudian dianggap bahwa orang
Bungkulah yang pertama kali datang dan menemukan pulau ini. Konon
begitulah ceritanya.
Secara administratif
pulau ini masuk wilayah kabupaten Morowali, provinsi Sulawesi Tengah.
Dalam seminggu, “biasanya” 3 kali jadwal kapal berangkat ke pulau ini
dari Bungku (ibukota kabupaten Morowali) yang membutuhkan waktu tempuh
sekitar 14 jam. Pulau Menui sebenarnya lebih dekat dengan Kendari
(ibukota Sulawesi Tenggara), kurang lebih 5 jam dengan kapal laut.
Itulah sebabnya sehingga aktivitas ekonomi penduduk Menui lebih banyak
terhubung dengan kota Kendari. Frekuensi kapal penumpang pun lebih
sering ke Kendari daripada ke Bungku.
Topografi wilayah
Menui sebagian berupa bukit-bukit, mirip dengan bukit-bukit karst
(kapur) yang ada di daerah Gunung Kidul, DIY. Di sini pun air bersih
sangat sulit didapatkan. Pada beberapa desa yang berada di wilayah
pesisir pantai, airnya terasa payau. Sedangkan pada daerah yang agak
masuk ke pedalaman, air bersih diperoleh dengan menampung air hujan.
Layaknya daerah karst pada umumnya, di Menui juga terdapat beberapa goa,
salah satunya goa Kumapa. Dalam goa ini terdapat sumber air mengalir,
yang sepertinya merupakan sistem sungai bawah tanah yang juga terhubung
dengan goa-goa lainnya yang ada disekitarnya. Air yang keluar dari goa
Kumapa inilah yang dimanfaatkan oleh penduduk desa Kofalagadi untuk
keperluan sehari-hari. Air disalurkan ke desa Kofalagadi melalui pipa
sepanjang ±2 km.
Ini sedikit cerita
mengenai goa Kumapa. Goa ini berjarak kurang lebih setengah jam jalan
kaki dari ujung desa Kofalagadi. Di sekitar goa banyak kuburan kuno.
Menurut warga, di sekitar goa inilah dulunya nenek moyang orang Menui
pertama kali membangun pemukiman. Mungkin karena disini sumber air cukup
melimpah. Tempat ini termasuk dikeramatkan oleh penduduk sekitar
sehingga sering dijadikan tempat bertapa. Di dalam goa terdapat
ornamen-ornamen yang pada umumnya biasa terdapat dalam goa seperti
stalaktit, stalagmit, dan kanopi. Terdapat dua buah stalagmit yang
saling berdempetan dan agak membulat sehingga mirip (maaf) payudara,
sehingga oleh penduduk disebut nisan perempuan dan di dekatnya terdapat
pula sebuah stalagmit yang lebih tinggi dan agak lonjong mirip (maaf
lagi) penis, sehingga disebut nisan laki-laki. Banyak ornamen goa yang
sudah rusak karena memang sengaja diambil oleh penduduk. Stalaktit
banyak yang telah dijadikan batu nisan oleh penduduk. Padahal proses
pembentukan ornamen-ornamen goa memakan waktu yang sangat lama, bisa
ratusan bahkan ribuan tahun. Ingatlah selalu pesan ketika akan masuk goa
“Take nothing but pictures, leave nothing but footprints, and kill
nothing but time”. Selanjutnya mari kita nyanyikan lagu ‘Syukur’ dan
‘Indonesia Raya’. Lho…?
Tidak jauh dari goa
Kumapa, terdapat sebuah goa lagi yang tidak kalah menariknya kalau kita
mendengar ceritanya. Di goa ini terdapat beberapa tengkorak manusia dan
tulang belulang lainnya. Selain itu juga terdapat perabot-perabot dan
alat-alat yang digunakan orang-orang pada jaman dahulu. Namun saat ini
yang tertinggal hanya tengkorak manusia dan tulang2 saja, sedangkan
alat2 dan perabot lainnya sudah diambil oleh oleh tangan-tangan panjang.
Sangat sulit untuk menemukan pintu masuk goa, karena penduduk Menui
sendiri jarang sekali yang pernah masuk ke goa ini.
Karena sulitnya air di
pulau ini, dan jenis tanah yang tidak mendukung untuk ditanami padi, di
Menui tidak ada sawah. Jenis tanaman bahan makanan pokok yang ditanam
adalah jenis umbi-umbian (singkong/ubi dan talas). Dua jenis makanan
pokok ini hampir selalu tersedia di meja makan orang Menui, baik dalam
bentuk asli maupun olahannya. Jika mereka sedang kedatangan tamu, maka
biasanya selain dua makanan pokok asli Menui tersebut, tersedia pula
nasi. Orang Menui, terutama generasi tuanya lebih memilih makan singkong
dan talas dibanding nasi.
Beragamnya makanan
pokok yang biasa dikonsumsi oleh penduduk Menui membuat mereka lebih
tahan terhadap krisis pangan (beras). Selama ini pangan pokok dalam
mindset kebanyakan orang di Indonesia adalah beras. Sehingga upaya
pemerintah untuk tetap memelihara ketahanan pangan adalah dengan
memelihara stok beras agar selalu aman dalam rangka memenuhi kebutuhan
seluruh masyarakat. Pembangunan dengan perencanaan dan mindset yang
terpusat tanpa memperhatikan kearifan lokal adalah bentuk penjajahan
yang terselubung. Penduduk Menui dan papua yang doyan makan umbi-umbian;
Palopo dan Maluku yang doyan makan sagu; Gorontalo yang doyan makan
Jagung diperkosa seleranya oleh pemerintah.
Berapa puluh tahun
lalu, kita sering mendengar istilah intensifikasi dan ekstensifikasi
pertanian. Tujuan program-program pemerintah itu adalah peningkatan
produksi beras. Diasumsikan semua penduduk makan beras. Tersebutlah pada
waktu itu Indonesia berhasil swasembada beras, bukan swasembada pangan.
Saat inipun beras masih jadi perhatian utama, sehingga menyita
perhatian bagi sumber pangan yang lain.
Bayangkan jika
generasi muda Menui sekarang sudah tidak mengkonsumsi umbi-umbian lagi,
beralih ke beras dan menjadi sangat tergantung dengan beras padahal
daerah mereka tidak bisa ditanami padi. Maka jika krisis beras terjadi,
bencana kelaparan juga bisa terjadi. Pemerintah baik pusat dan daerah
harus bisa memperhatikan dan mengembangkan pangan lokal. Keuntungan yang
dimiliki oleh daerah yang memiliki potensi pangan pokok lokal adalah
‘kelenturan’ penduduknya dalam memilih pangan pokok selain beras,
sehingga jika salah satu jenis pangan mengalami kelangkaan maka dengan
mudah penduduknya bisa beralih ke jenis pangan lain.
Penduduk Indonesia
yang jumlahnya ratusan juta ini harus dibiasakan mengkonsumsi pangan
selain beras. Bertumpu pada pangan tunggal (beras) akan rawan terhadap
gangguan pangan. Dalam banyak hal, seragam tidak lebih baik daripada
beragam.
Yang menguasai pangan
akan menguasai dunia. Kedaulatan pangan akan membebaskan negara dari
ketergantungan pada negara lain. Suharto bisa jatuh pada gerakan
reformasi yang salah satunya didorong oleh situasi kerawanan pangan saat
itu. Satu-satunya pilihan politik bagi negara kaya sumberdaya seperti
Indonesia adalah tidak ada warga negara yang lapar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar