Rabu, 28 Agustus 2013

" SEJARAH PULAU MENUI"

Menui berasal dari bahasa bugis ‘manu’ yang artinya ayam. Dulunya, saat pertama kali ditemukan oleh orang bugis, di pulau ini banyak terdapat ayam, sehingga dinamakanlah pulau Manu atau Manui. Menurut cerita penduduk setempat, yang pertama kali menemukan pulau ini sebenarnya adalah orang Bugis. Sebagai tanda bahwa mereka telah menemukan pulau ini, orang-orang bugis itu kemudian menancapkan besi payung di daerah tanjung. Akan tetapi, kemudian datang orang Bungku yang juga merasa telah menemukan pulau ini dan menancapkan besi berkarat di bawah besi payung yang telah ditancapkan sebelumnya oleh orang Bugis. Karena besi yang ditancapkan oleh orang Bungku lebih berkarat, maka kemudian dianggap bahwa orang Bungkulah yang pertama kali datang dan menemukan pulau ini. Konon begitulah ceritanya.
Secara administratif pulau ini masuk wilayah kabupaten Morowali, provinsi Sulawesi Tengah. Dalam seminggu, “biasanya” 3 kali jadwal kapal berangkat ke pulau ini dari Bungku (ibukota kabupaten Morowali) yang membutuhkan waktu tempuh sekitar 14 jam. Pulau Menui sebenarnya lebih dekat dengan Kendari (ibukota Sulawesi Tenggara), kurang lebih 5 jam dengan kapal laut. Itulah sebabnya sehingga aktivitas ekonomi penduduk Menui lebih banyak terhubung dengan kota Kendari. Frekuensi kapal penumpang pun lebih sering ke Kendari daripada ke Bungku.
Topografi wilayah Menui sebagian berupa bukit-bukit, mirip dengan bukit-bukit karst (kapur) yang ada di daerah Gunung Kidul, DIY. Di sini pun air bersih sangat sulit didapatkan. Pada beberapa desa yang berada di wilayah pesisir pantai, airnya terasa payau. Sedangkan pada daerah yang agak masuk ke pedalaman, air bersih diperoleh dengan menampung air hujan. Layaknya daerah karst pada umumnya, di Menui juga terdapat beberapa goa, salah satunya goa Kumapa. Dalam goa ini terdapat sumber air mengalir, yang sepertinya merupakan sistem sungai bawah tanah yang juga terhubung dengan goa-goa lainnya yang ada disekitarnya. Air yang keluar dari goa Kumapa inilah yang dimanfaatkan oleh penduduk desa Kofalagadi untuk keperluan sehari-hari. Air disalurkan ke desa Kofalagadi melalui pipa sepanjang ±2 km.
Jalanan di Pulau Menui
Ini sedikit cerita mengenai goa Kumapa. Goa ini berjarak kurang lebih setengah jam jalan kaki dari ujung desa Kofalagadi. Di sekitar goa banyak kuburan kuno. Menurut warga, di sekitar goa inilah dulunya nenek moyang orang Menui pertama kali membangun pemukiman. Mungkin karena disini sumber air cukup melimpah. Tempat ini termasuk dikeramatkan oleh penduduk sekitar sehingga sering dijadikan tempat bertapa. Di dalam goa terdapat ornamen-ornamen yang pada umumnya biasa terdapat dalam goa seperti stalaktit, stalagmit, dan kanopi. Terdapat dua buah stalagmit yang saling berdempetan dan agak membulat sehingga mirip (maaf) payudara, sehingga oleh penduduk disebut nisan perempuan dan di dekatnya terdapat pula sebuah stalagmit yang lebih tinggi dan agak lonjong mirip (maaf lagi) penis, sehingga disebut nisan laki-laki. Banyak ornamen goa yang sudah rusak karena memang sengaja diambil oleh penduduk. Stalaktit banyak yang telah dijadikan batu nisan oleh penduduk. Padahal proses pembentukan ornamen-ornamen goa memakan waktu yang sangat lama, bisa ratusan bahkan ribuan tahun. Ingatlah selalu pesan ketika akan masuk goa “Take nothing but pictures, leave nothing but footprints, and kill nothing but time”. Selanjutnya mari kita nyanyikan lagu ‘Syukur’ dan ‘Indonesia Raya’. Lho…?
Pintu Masuk Goa Kumapa
Tidak jauh dari goa Kumapa, terdapat sebuah goa lagi yang tidak kalah menariknya kalau kita mendengar ceritanya. Di goa ini terdapat beberapa tengkorak manusia dan tulang belulang lainnya. Selain itu juga terdapat perabot-perabot dan alat-alat yang digunakan orang-orang pada jaman dahulu. Namun saat ini yang tertinggal hanya tengkorak manusia dan tulang2 saja, sedangkan alat2 dan perabot lainnya sudah diambil oleh oleh tangan-tangan panjang. Sangat sulit untuk menemukan pintu masuk goa, karena penduduk Menui sendiri jarang sekali yang pernah masuk ke goa ini.
Karena sulitnya air di pulau ini, dan jenis tanah yang tidak mendukung untuk ditanami padi, di Menui tidak ada sawah. Jenis tanaman bahan makanan pokok yang ditanam adalah jenis umbi-umbian (singkong/ubi dan talas). Dua jenis makanan pokok ini hampir selalu tersedia di meja makan orang Menui, baik dalam bentuk asli maupun olahannya. Jika mereka sedang kedatangan tamu, maka biasanya selain dua makanan pokok asli Menui tersebut, tersedia pula nasi. Orang Menui, terutama generasi tuanya lebih memilih makan singkong dan talas dibanding nasi.
Beragamnya makanan pokok yang biasa dikonsumsi oleh penduduk Menui membuat mereka lebih tahan terhadap krisis pangan (beras). Selama ini pangan pokok dalam mindset kebanyakan orang di Indonesia adalah beras. Sehingga upaya pemerintah untuk tetap memelihara ketahanan pangan adalah dengan memelihara stok beras agar selalu aman dalam rangka memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat. Pembangunan dengan perencanaan dan mindset yang terpusat tanpa memperhatikan kearifan lokal adalah bentuk penjajahan yang terselubung. Penduduk Menui dan papua yang doyan makan umbi-umbian; Palopo dan Maluku yang doyan makan sagu; Gorontalo yang doyan makan Jagung diperkosa seleranya oleh pemerintah.
Jalan menuju goa Kumapa
Berapa puluh tahun lalu, kita sering mendengar istilah intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Tujuan program-program pemerintah itu adalah peningkatan produksi beras. Diasumsikan semua penduduk makan beras. Tersebutlah pada waktu itu Indonesia berhasil swasembada beras, bukan swasembada pangan. Saat inipun beras masih jadi perhatian utama, sehingga menyita perhatian bagi sumber pangan yang lain.
Bayangkan jika generasi muda Menui sekarang sudah tidak mengkonsumsi umbi-umbian lagi, beralih ke beras dan menjadi sangat tergantung dengan beras padahal daerah mereka tidak bisa ditanami padi. Maka jika krisis beras terjadi, bencana kelaparan juga bisa terjadi. Pemerintah baik pusat dan daerah harus bisa memperhatikan dan mengembangkan pangan lokal. Keuntungan yang dimiliki oleh daerah yang memiliki potensi pangan pokok lokal adalah ‘kelenturan’ penduduknya dalam memilih pangan pokok selain beras, sehingga jika salah satu jenis pangan mengalami kelangkaan maka dengan mudah penduduknya bisa beralih ke jenis pangan lain.
Penduduk Indonesia yang jumlahnya ratusan juta ini harus dibiasakan mengkonsumsi pangan selain beras. Bertumpu pada pangan tunggal (beras) akan rawan terhadap gangguan pangan. Dalam banyak hal, seragam tidak lebih baik daripada beragam.
Yang menguasai pangan akan menguasai dunia. Kedaulatan pangan akan membebaskan negara dari ketergantungan pada negara lain. Suharto bisa jatuh pada gerakan reformasi yang salah satunya didorong oleh situasi kerawanan pangan saat itu. Satu-satunya pilihan politik bagi negara kaya sumberdaya seperti Indonesia adalah tidak ada warga negara yang lapar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar